Mahasiswa Jadi Content Creator: Antara Bertahan Hidup dan Mengejar Mimpi di Era Digital

 

Sumber foto: Antara

 

Perkembangan teknologi digital yang pesat membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan cara generasi muda mencari penghasilan. Di tahun 2025, salah satu fenomena sosial paling kentara adalah meningkatnya jumlah mahasiswa yang terjun ke dunia content creation. Bukan semata demi popularitas atau ekspresi diri, banyak dari mereka melakukannya demi kebutuhan finansial yang mendesak.

Alih-alih hanya fokus kuliah dan mengembangkan kemampuan akademik, sebagian mahasiswa kini harus membagi waktu dan energi untuk membuat konten digital. Mulai dari video edukatif di TikTok, ulasan produk di Instagram, hingga vlog kehidupan anak kos di YouTube, semua mereka jalani sebagai upaya mencari penghasilan tambahan. Ada yang ingin membantu keluarga, ada pula yang sekadar ingin membayar uang kuliah dan kebutuhan harian.

Fakta bahwa biaya hidup dan pendidikan semakin tinggi, sementara peluang kerja paruh waktu masih terbatas, membuat dunia digital menjadi alternatif yang menarik. Dengan hanya bermodal ponsel dan koneksi internet, mahasiswa bisa mengakses berbagai platform seperti TikTok, YouTube, hingga LinkedIn untuk berkarya sekaligus mencari penghasilan lewat iklan, endorse, hingga afiliasi produk.

Fenomena ini menunjukkan bahwa ekonomi kreator telah menjadi bagian penting dalam kehidupan mahasiswa masa kini. Meski begitu, di balik peluang besar yang ditawarkan, muncul berbagai tantangan dan dilema yang tidak bisa dianggap sepele.

 

Bertahan Lewat Kreativitas

Data dari sejumlah survei menunjukkan bahwa lebih dari separuh mahasiswa di Indonesia pernah mengalami kendala keuangan selama masa studi. Ketika beasiswa tidak dapat menjangkau semua kalangan dan bantuan orang tua tidak mencukupi, para mahasiswa dituntut untuk kreatif mencari alternatif.

Alih-alih bekerja di kafe atau toko, kini banyak mahasiswa memilih jalan digital. Mereka menjajal peruntungan di dunia kreator konten. Kontennya pun beragam—dari cerita perkuliahan, tips belajar, tutorial desain grafis, review makanan murah, hingga konten reflektif tentang kesehatan mental.

Menariknya, banyak dari mereka tidak hanya berhasil mendapatkan penghasilan, tapi juga membangun komunitas dan mengasah berbagai keterampilan seperti komunikasi, pemasaran, editing, serta manajemen waktu.

Antara Kesempatan dan Tekanan

Menjadi content creator memang membuka pintu untuk belajar banyak hal di luar ruang kuliah. Namun, ritme kerja digital yang cepat dan tuntutan konsistensi bisa memicu stres. Mahasiswa kerap merasa terjebak dalam siklus produksi konten demi memenuhi ekspektasi algoritma atau audiens.

Tak jarang, demi mendapatkan perhatian, sebagian kreator nekat memakai judul provokatif, ikut tren sensitif, atau membuat konten tanpa mempertimbangkan dampak sosialnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan soal etika dan tanggung jawab di ruang digital.

Belum lagi soal waktu. Banyak mahasiswa kesulitan menyeimbangkan dunia perkuliahan dan dunia digital. Beberapa bahkan mengorbankan tugas akademik demi mengejar “cuan” dari konten yang viral. Ini tentu menjadi catatan penting bagi perguruan tinggi dan pembuat kebijakan.

 

Dampaknya bagi Dunia Pendidikan

Fenomena ini tak hanya menjadi soal individu, tetapi juga berdampak lebih luas pada arah pendidikan tinggi di Indonesia. Di satu sisi, mahasiswa menjadi lebih mandiri, adaptif, dan melek teknologi. Skill seperti public speaking, digital marketing, dan storytelling jadi terasah secara alami.

Namun, di sisi lain, fokus pada pencapaian akademik bisa tergeser. Ketika algoritma lebih memikat daripada literatur ilmiah, dan jumlah like lebih penting dari hasil ujian, maka ada risiko jangka panjang terhadap kualitas pendidikan itu sendiri.

Content creation memang membuka peluang, tapi jika tidak dikelola dengan baik, bisa mengganggu keseimbangan antara belajar dan bekerja. Oleh karena itu, penting adanya dukungan dalam bentuk literasi digital dan kebijakan kampus yang adaptif terhadap perubahan zaman.

Ekonomi kreator kini bukan hanya tren, tapi menjadi jalan keluar bagi banyak mahasiswa untuk bertahan hidup di tengah tekanan ekonomi. Dunia digital memberi mereka panggung untuk berkarya, belajar, dan menghasilkan uang. Meski penuh tantangan, banyak yang berhasil menjadikannya sebagai batu loncatan menuju masa depan yang lebih baik. Namun, tetap penting untuk menjaga keseimbangan agar tidak kehilangan arah—baik secara akademik maupun emosional.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAY6 akan Kembali Gelar Konser di Jakarta pada Mei 2025

Hiruk-Pikuk Pasar Tanah Abang Meski Baru Sepekan Puasa Ramadan

Gojek Beri Bonus Hari Raya untuk Mitra Driver Sesuai Arahan Presiden Prabowo