Pendidikan Belum Jadi Prioritas Bangsa

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Upacara digelar, spanduk dan slogan bertaburan, dan pidato-pidato membanjiri media. Namun, di balik perayaan seremonial itu, terselip kenyataan pahit: pendidikan belum benar-benar menjadi prioritas utama negeri ini.

Peringatan Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan hanya menjadi rutinitas tahunan, melainkan momen reflektif bagi seluruh elemen bangsa. Pertanyaannya, apakah semangat Ki Hadjar Dewantara sebagai pelopor pendidikan telah benar-benar terwujud? Atau kita masih berkutat dalam problematika klasik: sekolah rusak, kekurangan guru, kesenjangan kualitas antarwilayah, dan akses pendidikan yang belum merata?

Konstitusi sudah jelas mengamanatkan bahwa anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa dana itu belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan riil pendidikan, apalagi meningkatkan kualitas. Banyak guru honorer masih digaji tak layak, infrastruktur di daerah tertinggal jauh dari standar, dan kurikulum terus berganti arah tanpa konsistensi yang kokoh.

Pendidikan seolah menjadi urusan “belakang”, kalah pamor dibanding isu-isu politik dan ekonomi. Hal ini tampak dari minimnya perdebatan substansial soal pendidikan dalam ajang-ajang politik seperti pemilu. Para pemimpin lebih tertarik berbicara soal pembangunan jalan tol, pertumbuhan investasi, atau stabilitas harga pangan, ketimbang strategi peningkatan kualitas SDM yang berkelanjutan.

Krisis ini seharusnya menjadi alarm keras bagi para pengambil kebijakan. Meningkatkan akses dan kualitas pendidikan bukan semata soal mencetak lulusan, tetapi membentuk warga negara yang kritis, kreatif, dan berintegritas. Negara tidak bisa terus-menerus menggantungkan diri pada bonus demografi jika tidak disertai dengan peningkatan kualitas pendidikannya.

Sudah waktunya pendidikan dijadikan prioritas. Anggaran harus benar-benar diarahkan untuk peningkatan mutu, pelatihan guru, serta pembangunan sarana dan prasarana yang memadai. Kurikulum harus disederhanakan dan relevan dengan kebutuhan zaman. Pemerintah perlu hadir tidak hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai fasilitator utama dalam menciptakan ekosistem pendidikan yang sehat.

Bangsa Indonesia tak kekurangan slogan, tapi yang dibutuhkan sekarang adalah komitmen nyata. Jika ingin Indonesia benar-benar maju, maka pendidikan harus menjadi prioritas, bukan hanya dalam kata, tapi juga dalam kebijakan dan tindakan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DAY6 akan Kembali Gelar Konser di Jakarta pada Mei 2025

Hiruk-Pikuk Pasar Tanah Abang Meski Baru Sepekan Puasa Ramadan

Gojek Beri Bonus Hari Raya untuk Mitra Driver Sesuai Arahan Presiden Prabowo